majalahpotgretindonesia.com – Dalam upaya menekan kasus malaria di Papua, BRIN teliti Wolbachia nyamuk Papua mulai jalankan riset menggunakan bakteri Wolbachia pada vektor nyamuk lokal. Teknologi ini sudah berhasil digunakan untuk penyakit seperti DBD, tetapi penggunaannya melawan malaria masih dalam tahap awal.
Latar Belakang Penelitian & Urgensi Papua
Papua selama ini menjadi provinsi dengan beban malaria tertinggi di Indonesia, dikarenakan faktor lingkungan tropis, akses pelayanan kesehatan yang terbatas, dan dominasi vektor nyamuk Anopheles. Pendekatan klasik seperti fogging dan kelambu belum berhasil menurunkan angka kasus secara signifikan.
BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) bersama Kemenkes dan universitas lokal melihat Wolbachia sebagai terobosan: bakteri ini mampu menekan daya kemampuan nyamuk menularkan parasit—populer diterapkan pada Aedes untuk DBD .
Papua dipilih karena tingginya prevalensi malaria serta keanekaragaman genetik Anopheles sehingga riset ini diharapkan membuka jalan teknologi vektor berbasis bioteknologi di wilayah endemis tinggi.
Cara Kerja Wolbachia & Aplikasinya di Nyamuk Vektor
Wolbachia adalah bakteri simbion alami yang berada di insekta; tidak bersifat rekayasa genetika dan tidak bisa hidup di luar inangnya. Pada nyamuk Aedes, Wolbachia telah terbukti menghambat virus dengue, zika, dan chikungunya hingga menurunkan kasus hingga 77 %.
Di Papua, fokusnya pada Anopheles. Bila berhasil diperkenalkan melalui injeksi telur atau kawin silang, bakteri ini bisa mengganggu siklus hidup parasit malaria (Plasmodium) di nyamuk, sehingga menurunkan vektor aktif secara multi-generasi.
Tekniknya sama seperti di Yogyakarta: penyebaran male dan female Anopheles ber-Wolbachia ke populasi alami, sehingga keturunannya menjadi resistensi terhadap Plasmodium dan tidak mampu menularkannya lagi.
Studi Riset & Hasil Awal di Papua
BRIN melaksanakan studi laboratorium dan lapangan sejak awal 2025, dimulai dari isolasi strain Wolbachia lokal dan injeksi ke koloni Anopheles. Hasil sementara menunjukkan penurunan kemampuan Plasmodium secara signifikan di tahap preliminer.
Tahap selanjutnya adalah riset lapangan terbatas di lokasi endemis, termasuk simulasi pelepasan nyamuk ber-Wolbachia di dua kampung pilot. Data surveilans beberapa bulan pertama menunjukkan penurunan densitas Anopheles positif plasmodium hingga 40 %—namun masih memerlukan pengujian lebih panjang.
BRIN akan terus memantau aspek ekologis seperti migrasi nyamuk, keberlanjutan Wolbachia dalam populasi, dan integrasi dengan metode pengendalian lainnya.
Tantangan dan Regulasi yang Harus Dihadapi
A. Keamanan & Persepsi Publik
Implementasi Wolbachia sempat dikhawatirkan sebagai rekayasa genetika—padahal data menunjukkan bakteri dan nyamuk tulen alami, aman jangka panjang. Edukasi publik di Papua jadi kunci untuk menghindari resistensi dan stigma.
B. Regulasi dan Operasional
Belum ada regulasi khusus untuk Wolbachia di Anopheles. BRIN dan Kemenkes harus siapkan pedoman etik, izin uji lapangan, serta komitmen pemda setempat. Rencana monitoring jangka panjang adalah syarat wajib.
C. Kompleksitas Genetik & Ekosistem
Strain Anopheles Papua sangat variatif. Wolbachia harus kompatibel dengan total populasi genetik tersebut agar bisa menyebar stabil. Selain itu, perlu perhatikan dampak ekologis jangka panjang seperti perubahan predator nyamuk.
Sinergi Terpadu & Potensi Skala Nasional
Sukses di Papua bisa membuka pintu untuk teknologi Wolbachia di daerah endemis lainnya, misalnya Nusa Tenggara atau Kalimantan. Strateginya harus berintegrasi dengan program berbasis kelambu, bed net, surveilans kasus, dan edukasi masyarakat .
BRIN merencanakan skema 5 tahun ke depan: pilot -> evaluasi epidemiologi -> ekspansi terbatas -> skala nasional. Kolaborasi dengan WHO atau lembaga riset global seperti WMP juga sedang dijajaki.
Pendanaan perlu berasal dari APBN, donor kesehatan, dan kerjasama swasta. Keberhasilan ini bisa mendukung target eliminasi malaria Indonesia 2030.
Peluang & Risiko Jangka Panjang
Jika berjalan lancar, teknologi Wolbachia berpotensi menurunkan malaria incidence rate hingga 60 % secara lokal mirip studi di Malaysia dan Singapura. Ini sekaligus hemat biaya dan mengurangi beban pelayanan kesehatan.
Namun kalau gagal, bisa timbul resistensi bakteri, kegagalan genetis, atau publik menolak, yang menghambat pengendalian vektor. Pemantauan ketat dan mitigasi risiko ekspor bakteri akan jadi syarat agar aman.
Inisiatif BRIN teliti Wolbachia nyamuk Papua adalah inovasi penting dalam pengendalian malaria. Prosesnya masih panjang, tapi jika berhasil, bisa jadi model baru pengendalian vektor dalam skala nasional. Dampak ekologis, teknis, hingga sosial harus diatasi lewat kerjasama berbagai pemangku kebijakan—mulai dari pemerintah hingga masyarakat Papua.