Protes Orangtua ke Ombudsman: Tes Terstandar SPMB 2025 Dinilai Terlalu Sulit dan Tidak Adil

Protes Orangtua ke Ombudsman: Tes Terstandar SPMB 2025 Dinilai Terlalu Sulit dan Tidak Adil

Protes Orangtua ke Ombudsman: Tes Terstandar SPMB 2025 Dinilai Terlalu Sulit dan Tidak Adil

majalahpotretindonesia.com – Sejumlah orangtua murid ramai‑ramai melayangkan protes kepada Ombudsman terkait pelaksanaan tes terstandar SPMB 2025, yang dianggap terlalu sulit, tidak adil, dan berpihak pada sekolah favorit. Akar permasalahan dipicu oleh aturan domisili, ketatnya verifikasi, hingga ketimpangan distribusi kuota. Respons Ombudsman RI di berbagai daerah dan sikap orangtua menjadi sorotan utama di tengah gejolak SPMB tahun ini.

Protes dan Suara Orangtua: Kritik Terbuka ke Ombudsman

Keluhan tak hanya bermunculan di media massa, tapi juga masuk ke meja Ombudsman. Di Depok, orangtua murid protes lantaran sistem menolak anak yang domisilinya dekat dengan sekolah, seperti SMP Negeri 31 dan 6, meski tinggal hanya beberapa ratus meter dari sekolah.

“Saya bingung kenapa anak saya tidak diterima, padahal dekat hanya 300 meter,” ujar Mardani, orangtua calon peserta didik. Kritik ini menggambarkan bahwa domisili saja tak lagi jadi jaminan masuk, memicu kekecewaan besar dari masyarakat.

Di Yogyakarta, Ombudsman DIY terus memantau kebijakan jalur afirmasi terbatas. Meski Dinas Pendidikan DIY menambahkan kuota untuk mengakomodasi beberapa siswa yang diskualifikasi, banyak orangtua menilai reformasi ini justru melanggar konsistensi regulasi dan tidak memperbaiki keadilan.

“Banyak masyarakat tidak puas meski kebijakan telah dibuat,” kata Mohammad Bagus Sasmita, koordinator Ombudsman DIY.

Protes serupa terdengar di berbagai wilayah, menuntut ujian yang lebih adil dan distribusi kesempatan pendidikan yang merata tanpa harus bergantung pada jalur domisili atau kedekatan sekolah.

Temuan Ombudsman: Favoritisme Sekolah dan Overload Pendaftar

Ombudsman Babel menemukan bukti nyata bahwa favoritisme sekolah memicu overload pendaftaran di SD tertentu, seperti Pangkalpinang, hingga melebihi kuota rombal. Hal ini menyebabkan ketimpangan distribusi peserta didik.

Langkah verifikasi meski tegas, namun tetap banyak orangtua enggan mencabut berkas meski regulasi tak mengizinkan mereka mendaftar (walaupun tidak lolos perangkingan). Ombudsman menilai ini bentuk tekanan sosial dan politis yang mengorbankan integritas sistem pendataan.

Selain itu, Ombudsman menekankan bahwa proses verifikasi nilai rapor dan domisili siswa memakan waktu lama—terutama di zona SPMB SMA/SMK—yang mengakibatkan ketidakpastian bagi orangtua dan peserta didik.

Isu Keadilan: Apakah Tes SPMB 2025 Terlalu Sulit?

Beberapa orangtua dan pengamat menduga soal tes standar SPMB terlalu berat untuk sebagian besar peserta. Jika tidak lulus jalur domisili atau afirmasi, hanya jalur tes yang tersisa. Namun soal tes dianggap terlalu menuntut, dengan bobot nilai rapor dan lokasi yang kadang bikin siswa sipil sulit bertahan.

Di sini Ombudsman pun memberikan atensi khusus ke masalah verifikasi: volume dokumen yang diverifikasi nilai dan domisili menimbulkan antrean panjang dan frustrasi, sementara soal tes dianggap kompleks dan membebani siswa.

Sistem peringkat tertutup juga dikritik karena kurang transparan. Ombudsman Banten menyarankan agar peringkat peserta dilihat publik untuk meminimalisir kecurigaan manipulasi nilai.

Tanggapan Resmi: Ombudsman Dorong Reformasi SPMB

Ketua Ombudsman RI, Muhammad Najih, meminta SPMB direformasi agar lebih bermutu, akuntabel, dan partisipatif. Data tahun sebelumnya menunjukkan ribuan aduan terkait PPDB/SPMB telah masuk, menyangkut zonasi, prestasi, afirmasi, dan mutasi.

Najih mengungkapkan bahwa lemahnya regulasi dan penerapan juknis menyebabkan peluang kecurangan muncul. Oleh karena itu, Ombudsman menginstruksikan pemerataan sosialisasi juknis ke orangtua, guru, dan sekolah.

Di DIY, Ombudsman menyetujui penambahan afirmasi terbatas bersyarat, tapi menegaskan aturan harus konsisten dan diikuti semua pihak. Mereka tetap mengawasi agar proses fair dan akuntabel.

Dampak Sosial: Anak-anak jadi Korban

Ketimpangan alokasi kuota dan kerumitan tes berdampak langsung pada anak-anak, yang jadi korban sistem. Dalam beberapa kasus, anak-anak gagal masuk ke sekolah negeri terdekat, padahal orangtua berharap mereka bisa kuliah lebih dekat atau sekolah favorit.

Tekanan dari orangtua dan sekolah favorit membuat healing menjadi sulit. Sistem tes yang terlalu berat malah menempatkan beban berlebih di pundak siswa—padahal belum termasuk faktor gairah belajar, keterbatasan akses, dan kesiapan teknologi.

Ombudsman mengimbau dinamika kelas agar tidak terpinggirkan mahasiswa yang hanya berjarak puluhan meter dari sekolah negeri—karena regulasi yang terlalu kaku dan tidak menggambarkan kondisi lokal sebenarnya.

Kesimpulan & Harapan Penutup

Kesimpulan
Permasalahan SPMB 2025 bukan hanya soal tes sulit, tapi juga soal distribusi kuota, praktik favoritisme, dan sistem verifikasi yang lamban. Ombudsman RI sudah menyoroti hal ini dan memanggil seluruh pemangku kebijakan untuk memperbaiki skema seleksi agar lebih adil dan akuntabel.

Harapan Penutup

  • Orangtua berharap kesetaraan akses pendidikan tanpa diskriminasi domisili.

  • Pemerintah daerah diminta masif sosialisasi juknis dan transparan dalam sistem peringkat.

  • Ombudsman RI terus membuka pengaduan masyarakat sebagai upaya perbaikan rencana jangka panjang SPMB.