majalahpotretindonesia.com – Menteri Kebudayaan Fadli Zon kembali menegaskan komitmennya untuk menolak permintaan menghentikan proyek penulisan ulang sejarah Indonesia, meski sejumlah pihak menuntut setop karena dianggap riskan bias kekuasaan. Dalam rapat Komisi X DPR, Fadli pakai argumen “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” dan bela metode dialog terbuka satu forum—bukan hasil tunggal. Ini catatannya sampai akhir.
Latar Belakang Proyek Sejarah Ulang
Mulanya gagasan ini muncul karena buku sejarah nasional terakhir baru terbit di era reformasi, sekitar 25 tahun lalu. Fadli menjelaskan bahwa era pra-Habibie hingga era Jokowi belum terbahas secara memadai dalamrilis resmi sebelumnya.
Oleh karena itu, Kementerian Kebudayaan membentuk tim khusus berisi sekitar 113–100 sejarawan dari 34 perguruan tinggi, bertugas meng-update materi sejarah dari prasejarah hingga kontemporer.
Penulisan ulang ini ditargetkan selesai 17 Agustus 2025, menandai peringatan 80 tahun RI merdeka.
Penolakan dari PDI‑P dan Masyarakat Sipil
Beberapa pihak, termasuk PDI‑P (Mercy Barends, MY Esti Wijayati) dan Aliansi Keterbukaan Sejarah (AKSI), mengkritik proyek ini karena dikhawatirkan akan menghadirkan “sejarah resmi tunggal” yang distorsi fakta, terutama terkait peristiwa sensitif seperti Mei 1998, termasuk isu kekerasan seksual kepada etnis Tionghoa.
Mercy Barends bahkan menyarankan Fadli untuk menghentikan proyek agar tidak menambah luka di masyarakat yang masih mengalami trauma.
Fadli Zon Tolak Setop – Argumen dan Respons
Fadli merespons dengan tegas: menulis ulang sejarah bukan semata untuk “sejarah resmi” pemerintah, tapi sebagai inisiatif kolektif akademisi.
Ia menyandarkan argumennya pada pesan Bung Karno—agar bangsa Indonesia “tidak sekali-kali meninggalkan sejarah”. Menurutnya, diskusi dan kritik adalah bagian dari proses, bukan alasan untuk menghentikan proyek.
Proyek ini sudah mencapai sekitar 70–80% kelengkapan menurut data dari tim, dan draft belum final, karena bakal melalui uji publik dan dialog ilmiah.
Proses Akademis – Dialog Terbuka vs Sejarah Otoriter
Fadli Zon menegaskan bahwa draf penulisan ulang bukan keputusan sepihak. Ia membuka forum diskusi untuk melibatkan semua stakeholder—sejarawan, aktivis, korban, dan masyarakat umum.
Tim ini terdiri dari ratusan akademisi dari 34 perguruan tinggi, bukan sekadar birokrat—menunjukkan niatan ilmiah dan inklusif.
Juga ditegaskan: isi dokumen bukan menjadikan versi resmi, melainkan update bermakna untuk kurikulum dan referensi masa depan.
Tantangan Kritik & Kontroversi Sensitif
Satu hal paling kontroversial adalah pernyataan Fadli soal kekerasan seksual Mei 1998—yang ditolak PDI‑P, Komnas Perempuan, dan aktivis karena dianggap mengabaikan korban.
Walau demikian, Fadli menyatakan komitmen terhadap sikap objektif: meskipun isu sensitif, jika tidak didukung data lengkap, tidak bisa dipaksakan jadi fakta sejarah resmi.
Fadli Zon tolak setop penulisan ulang sejarah RI bukan semata perdebatan politis, tapi upaya perbaikan literatur sejarah yang lama tak diperbarui. Meski menuai kontroversi, proyek ini tetap dilanjutkan dengan syarat dialog terbuka dan riset akademis. Final draft dijadwalkan diluncurkan 17 Agustus 2025, setelah melibatkan publik lewat uji publik dan perdebatan ilmiah.