majalahpotretindonesia.com – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Pramono Anung mengaku belum tahu soal kebijakan baru DKI Jakarta yang menetapkan pajak 10% untuk olahraga padel. Dirinya menyebut hebohnya soal padel yang dimuat sebagai objek pajak hiburan telah jadi konsumsi publik, hingga menyebut “hebohnya setengah mati”.
Kebijakan Pajak 10% untuk Padel di Jakarta
Pemprov DKI Jakarta melalui Bapenda menerbitkan Keputusan Kepala Bapenda Nomor 257 Tahun 2025, menetapkan olahraga padel sebagai objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) di sektor hiburan. Tarif pajak ditetapkan 10%, berlaku untuk sewa lapangan, tiket masuk, hingga pemesanan via aplikasi digital.
Selanjutnya, kebijakan ini juga termasuk dalam daftar ini adalah puluhan fasilitas olahraga lain seperti lapangan futsal, tenis, badminton, kolam renang, gym, hingga jetski. Dasarnya sesuai Pasal 49 ayat (1) huruf i Perda No. 1/2024, yang mengatur pajak untuk olahraga yang menggunakan sarana/peralatan dan dikomersialkan. Penetapan ini mencerminkan semangat Pemprov DKI untuk menambah pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor gaya hidup urban, dengan alasan agar ada keadilan fiskal dan pengawasan terhadap usaha hiburan olahraga
Respon Pramono Anung dan Pemerintah Pusat
Dalam rapat terbatas dengan jajaran kementerian dan daerah, Pramono Anung mengaku baru mengetahui soal pajak padel ini, dan mengakui pemerintah pusat perlu segera berdialog dengan Pemda DKI untuk memastikan keharmonisan kebijakan fiskal.
Pramono menyatakan bahwa heboh media dan publik seputar padel ini memang signifikan, bahkan ia menyebut “hebohnya setengah mati” saat menerima banyak notifikasi dan laporan dari warganet. Namun dia juga menghormati hak daerah menetapkan pungutan sendiri sesuai kewenangannya.
Pemerintah pusat melalui Kemenko Perekonomian bersama Bapenda dan Kemenkeu kini melakukan koordinasi teknis terkait turunan aturan, penjelasan komunikasi kebijakan, serta bantuan edukasi bagi pelaku usaha agar bisa compliance dengan baik.
Dampak Kebijakan terhadap Publik dan Pelaku Usaha
Pengelola Lapangan & Pelatih
Usaha padel, baik indoor maupun outdoor, kini wajib menambahkan pajak 10% ke harga sewa lapangan. Ini tentu berpengaruh pada margin keuntungan dan daya saing jika dibandingkan daerah lain yang belum mengenakan pajak serupa. Beberapa pengelola mengeluhkan beban fiskal tambahan ini, namun berharap sosialisasi dan strata fiskal bisa jelas agar tidak ada stigma negatif terhadap olahraga ini.
Pemain & Komunitas
Sementara itu, komunitas padel dan pengguna reguler melaporkan kenaikan biaya sesi hingga Rp 15.000–30.000 per jam sewa. Meski sebagian rela dengan semangat olahraga, isu pajak ini memicu diskusi tentang aksesibilitas dan apakah padel masih layak disebut olahraga gaya hidup massal.
Pemerintah & PAD
Pemprov DKI melihat potensi signifikan pendapatan dari pajak ini. Jika volume transaksi padel terus tumbuh, PAD daerah bisa mendapatkan kontribusi tambahan dari sektor hiburan olahraga. Namun mereka juga diingatkan agar jangan sampai kebijakan ini menurunkan jumlah pengguna dan menimbulkan protes.
Perbandingan Nasional & Tren Pajak Hiburan Olahraga
Pajak padel 10% di Jakarta menjadi fenomena pertama di Indonesia, mengingat cabang olahraga ini relatif baru dan sedang naik daun. Belum ada daerah lain yang secara eksplisit mengenakan pajak serupa, tapi setelah DKI menerapkannya, provinsi dan kota lain kemungkinan akan mengikuti jejak untuk memanfaatkan potensi PAD.
Secara global, pengenaan pajak hiburan pada olahraga komersial cukup umum di negara-negara maju. Jakarta kini menggunakan format PBJT yang diarahkan kepada fasilitas yang menyediakan hiburan berbayar, dan padel masuk kategori tersebut.
Namun perlu antisipasi agar pajak tidak menjadi beban berlebihan yang justru menurunkan minat olahraga masyarakat urban, apalagi dalam era pasca pandemi yang masih butuh gerakan aktif dan sehat.
Pramono: Saya belum tahu padel kena pajak 10%, hebohnya setengah mati menggambarkan fenomena kebijakan daerah yang viral dan mendulang perhatian nasional. Pajak padel ini resmi 10% untuk sewa dan akses, sementara pemerintah pusat bergerak cepat memastikan kebijakan ini tidak bertabrakan dengan kepentingan publik dan ekonomi.