potretmajalahindonesia.com – Kasus dugaan ijazah palsu Presiden Jokowi kembali memanas setelah Roy Suryo absen pemeriksaan meski sebelumnya telah dipanggil. Mantan Menpora ini sebelumnya diperiksa soal tuduhan tersebut dan melontarkan kritikan terhadap penggunaan UU ITE, namun kemudian menyatakan tidak hadir pada pemeriksaan lanjutan.
Pemeriksaan Awal dan Kritik terhadap UU ITE
Pada 15 Mei 2025, Roy Suryo hadir di Polda Metro Jaya dan menjawab 24–26 pertanyaan terkait dugaan pelaporan ijazah palsu Presiden Jokowi. Ia diminta menjelaskan latar belakang pendidikan dan dokumen pendukung: ijazah SD hingga S3.
Roy menyayangkan penggunaan Pasal 32 dan 35 UU ITE, yang menurutnya tidak tepat karena tidak ada dokumen elektronik sebagai barang bukti. Ia menegaskan, jika saksi diajukan tanpa dasar elektronik, sama seperti menuntut pembunuhan tanpa mayat. Kritiknya juga mencakup permintaan agar aparat tidak asal pakai pasal ITE bila dukungan bukti belum jelas.
Selain soal hukum, Roy juga komplain soal administrasi panggilan: beberapa saksi—termasuk Abraham Samad dan Rismon Sianipar—disebut disebut mangkir padahal belum dipanggil resmi. Ia meminta Polda Metro memperbaiki sistem surat panggilan agar tidak merugikan reputasi orang yang belum dipanggil secara sah.
Absen Pemeriksaan Lanjutan – Alasan & Dampaknya
Setelah pemeriksaan 15 Mei, Roy dikabarkan tidak hadir dalam panggilan berikutnya, meski belum ada konfirmasi resmi apakah surat pemanggilan telah sampai. Jika tidak menerima surat, ia merasa tidak wajib hadir . Menurut Roy, ketidakjelasan surat membuat status investigasi jadi abu-abu, sehingga ia keberatan memberikan keterangan tambahan .
Ketidak hadiran ini bisa jadi dilema bagi aparat: apakah perlu penerbitan ulang panggilan atau menilai Roy mangkir. Jika dianggap mangkir, hal itu bisa mempengaruhi jalannya proses—terutama bila pihak pelapor menindaklanjuti ke ranah hukum pidana.
Di sisi publik, absennya Roy menimbulkan spekulasi: ada yang menilai ini bentuk protes prosedural, ada pula yang curiga ada strategi hukum terselubung. Situasi ini bisa mengganggu kepercayaan masyarakat terhadap proses yang transparan dan tertib.
Retorika & Strategi Hukum Roy Suryo
A. Kritik Terhadap Pemeriksaan
Dari awal Roy menaruh keprihatinan soal UU ITE yang terlalu mudah digunakan untuk kriminalisasi. Pandangannya, pasal tersebut tidak untuk soal ijazah gaya analog .
Ia juga mempertanyakan penanganan ijazah Jokowi di proses forensik: dokumennya berupa fotokopi alias digital ulang, dan fotonya dinilai tidak memadai. Roy menyebut fotokopi digital sudah buram dan terlipat—bukan bukti otentik dan bisa memengaruhi kualitas analisis.
B. Lapor ke Komnas HAM
Roy juga melaporkan perlakuan aparat kepada dirinya ke Komnas HAM—menyebut ada indikasi kriminalisasi dan tidak adil. Ini menunjukkan strategi defensif: menggeser narasi dari “absen” jadi protes aturan dan mencari perlindungan HAM sebagai bentuk tekanan balik.
Respons Polda Metro Jaya & Proses Lanjutan
Polda Metro belum memberi keterangan resmi tentang status panggilan baru. Kabid Humas Kombes Ade Ary menyatakan akan menunggu kehadiran saksi kedua, yang biasanya dipanggil ulang dalam 3–6 hari jika mangkir.
Sampai saat ini, dua saksi: Roy Suryo dan dr. Tifa Hadir pada 15 Mei, sedangkan satu saksi mangkir. Penyelidikan masih berjalan dan panggilan lanjutan sedang disusun.
Implikasi Proses Hukum & Publikasi
Ketidakhadiran Roy menyita perhatian publik dan bisa memengaruhi persepsi masyarakat. Jika dianggap menghindar, opini bisa berkembang bahwa proses investigasi berat sebelah. Sebaliknya, jika dianggap bentuk protes legal, Roy bisa mendapat dukungan opini yang melihat ini sebagai bentuk konsistensi atas hak hukum.
Secara hukum, polisi harus pastikan panggilan resmi sampai atau melayangkan panggilan pengganti. Proses yang hambar atau administratif buruk bisa memicu gugatan balik atau masuk ranah Komnas HAM.
Roy Suryo absen pemeriksaan ijazah palsu Jokowi bukan sekadar absen, tetapi bagian dari strategi hukum yang terstruktur: kritik UU ITE, soal administrasi panggilan, dan usaha melindungi diri lewat Komnas HAM. Aparat dihadapkan pada tugas berat: harus tetap profesional, transparan, dan memberi panggilan ulang bila memang diperlukan agar proses sah dan tak dikritik publik. Kita pantau lanjutannya.