Industri RI dalam Bahaya, Pasarnya Terancam Dikuasai Produk China

Industri RI dalam Bahaya, Pasarnya Terancam Dikuasai Produk China

Industri RI dalam Bahaya, Pasarnya Terancam Dikuasai Produk China

majalahpotretindonesia.com – Baru-baru ini ramai diperbincangkan bahwa industri RI terancam produk China yang murah merajalela. Berdasarkan data, impor dari China ke Indonesia melonjak hingga 21% tahun-ke-tahun, dengan nilai mencapai US$ 6,8 miliar pada Mei 2025. Industrialis dalam negeri—terutama tekstil, elektronik, dan otomotif—mulai terdampak nyata: pabrik tutup, PHK masal, dan prospek deindustrialisasi makin nyata.

Skala Masuknya Produk China ke Pasar Domestik

Nilai impor China ke Indonesia sejak Januari hingga April 2025 mencapai US$ 25,8 miliar, sementara ekspor RI belum sebanding, hanya sekitar US$ 18,9 miliar. Ini menciptakan defisit perdagangan senilai hampir US$ 6,9 miliar dalam periode singkat, gambaran jelas dominasi barang impor. Pangsa pasar impor China bahkan menyentuh 31,13% dari total impor Indonesia sepanjang 2024. Pasokan produk murah ini berasal dari ekspor surplus China, termasuk barang-barang jadi dan bahan industri, khususnya plastik, tekstil, elektronik, otomotif, dan furnitur. . Banyak launching strategi relokasi pabrik dari China ke ASEAN—tapi terlalu banyak yang berhenti di tahap impor, bukan produksi lokal.

Risiko Deindustrialisasi & Dampak Ekonomi

1. Pabrik tutup, industri padat karya sakit
Contohnya Sritex di Solo terpaksa gulung tikar karena kalah bersaing dengan pakaian murah China. Ratusan ribu pekerja tekstil di Indonesia terancam kehilangan pekerjaan. Di sektor furnitur dan otomotif komponen juga ada yang ambles.

2. Industri elektronik mandek
Rencana relokasi pabrik elektronik dari China batal total karena pasar lokal kebanjiran barang impor murah. Pelaku usaha lokal kewalahan saing harga, logistik, dan skala produksi.

3. Tekanan deflasi impor
Harga produk impor murah bisa mendorong deflasi berat, menurunkan konsumen menunda beli, berpotensi pangkas upah dan investasi. Itu bisa retraksi kesehatan sektor manufaktur, bahkan PDB.

Respons Pemerintah & Kebijakan Proteksi

A. Pengenaan tarif anti-dumping & impor
Pemerintah sudah kenakan tarif anti-dumping pada produk seperti film nylon, baja hot-rolled steel, plastik, dan lainnya. Namun langkah ini masih reaktif dan belum menutup celah kebanjiran impor .

B. Potensi bea masuk tinggi hingga 200%
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan pernah sampaikan opsi bea masuk hingga 200% untuk tekstil, elektronik, dan keramik, guna melindungi usaha kecil dan menengah. Namun penerapan perlu detail agar tidak picu balas dagang dari China.

C. Reformasi Permendag & regulasi impor
Bisnis.com melaporkan pengusaha elektronik mendesak revisi Permendag 8/2024 agar impor lebih ketat dan memberikan ruang relokasi industri benar-benar jadi produksi di dalam negeri.

D. Task force & edukasi pelaku usaha
Pemerintah bentuk satgas pantau impor, edukasi UMKM tentang sertifikasi, logistik, dan strategi substitusi impor. Kampanye “gunakan produk dalam negeri” juga digelorakan, termasuk lewat Trade Expo.

Tantangan & Strategi Jangka Panjang

1. Skala & efisiensi produksi RI
Produk China murah karena skala besar dan dukungan riset/logistik. Indonesia harus segera perbaiki infrastruktur dan fasilitasi cluster industri agar skala lokal bisa kompetitif.

2. Diversifikasi rantai pasok
Ketergantungan parah pada China untuk bahan baku elektronik, plastik, atau otomotif harus dikurangi. Diversifikasi sumber impor dan lokal sourcing harus dipercepat .

3. Kolaborasi ASEAN & proteksi regional
Masalah ini bukan hanya RI, tapi juga ASEAN. Perlu strategi bersama lewat CEPT dan ASEAN Economic Community untuk harmonisasi kebijakan proteksi dan industrialisasi regional .

4. Produktivitas & teknologi lokal
Upgrade skill tenaga kerja, adopsi otomasi, dan penguatan inovasi akan memberi nilai tambah bagi produk lokal agar tak hanya mengandalkan harga murah.

Masuknya produk China murah habis-habisan ke pasar RI bukan cuma tantangan, tapi alarm nyata. Jika tidak dikendalikan dengan kebijakan proteksi, regulasi dan reformasi industri, maka risikonya adalah deindustrialisasi—kehilangan lapangan kerja dan ketergantungan panjang. Indonesia butuh sinergi antarpemerintah, asosiasi, dan pelaku usaha untuk bangun produk lokal yang kuat, efisien, dan tahan banting.