majalahpotretindonesia.com – Pemerintah kini makin agresif mengincar Airlangga bidik tarif resiprokal AS 0% sebagai bagian dari strategi menanggapi kebijakan tarif ‘reciprocal’ AS. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, tengah pimpin serangkaian negosiasi intensif dengan AS, menyasar keringanan tarif impor tajam—hingga mungkin nol persen untuk Indonesia.
Apa Itu Tarif Resiprokal AS & Mengapa RI Jadi Sasaran
Tarif resiprokal AS adalah bea impor yang disesuaikan secara timbal balik berdasarkan tarif yang dikenakan target negara, dalam hal ini Indonesia. Diluncurkan di bawah kebijakan presiden AS terbaru, tarif ini awalnya mencapai 32% untuk barang impor dari RI.
Amerika menargetkan Indonesia karena surplus dagang yang cukup besar dan resistensi non‑tarif RI seperti regulasi impor yang rumit. Tarif ini merupakan ‘penyeimbang’ atas hambatan yang dinilai AS sebagai diskriminatif . Untuk sementara, tarif tinggi itu ditunda jadi 10% selama 90 hari sambil kedua negara lakukan negosiasi .
Langkah Airlangga dalam Diplomasi Tarif
Semenjak kebijakan tarif diumumkan, Airlangga cepat bertindak:
-
Pengiriman delegasi ke AS pada April 2025, bersama Sri Mulyani dan Sugiono, untuk negosiasi langsung dengan USTR, Departemen Perdagangan & Treasury.
- Pengajuan paket negosiasi diplomatik, yang mencakup pembelian produk AS senilai USD 18–19 miliar (energi, pangan, finansial), insentif fiskal, relaksasi TKDN, dan perbaikan regulasi impor.
- Penawaran investasi bersama di sektor mineral kritikal, termasuk logam nikel dan ekosistem kendaraan listrik melalui Danantara Indonesia.
Airlangga Aim untuk Tarif 0% & Potensi Realisasinya
Strategi utama isunya agar AS bisa beri 0% tarif untuk barang RI, bukan hanya penurunan minimal. Alasan mereka:
-
Keadilan dagang: tarif harus setara dengan yang dinikmati negara besar seperti China, Jepang, Korea atau ASEAN lainnya.
-
Memberi ruang ekspor RI: khususnya sektor tekstil, sepatu, elektronik, dan perabotan yang terdampak besar jika tarif tetap tinggi.
-
Memperkuat kerja sama jangka panjang: melalui insentif impor dan investasi AS, RI dapat imbal balik berupa akses pasar dan invest.
Dampak Ekonomi Jika Tarif Dicapai 0%
A. Bagi Eksportir
Tanpa beban 32% atau bahkan 10%, sektor apparel, footwear, furniture dan elektronik bisa kompetitif di pasar AS. Ini berpotensi meningkatkan volume ekspor signifikan dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
B. Bagi Impor & Konsumen RI
Restocking barang AS seperti energi, pangan, alat berat, obat-obatan bisa jadi lebih murah. Namun perlu diimbangi kebijakan agar industri dalam negeri tak tersingkir.
C. Bagi Stabilitas Makro
Jika negosiasi berhasil dan tarif 0%, defisit transaksi berjalan bisa terjaga. Namun pengurangan surplus dagang dengan AS perlu dipantau agar rupiah tetap stabil.
Tantangan & Risiko Negosiasi
Negosiasi ini bukan tanpa hambatan:
-
Tekanan politik di AS: tarif reciprocal didorong oleh legislasi ‘America First’, membatasi fleksibilitas.
-
Kepatuhan non‑tarif RI: AS mempertimbangkan hambatan non‑tarif RI—dari TKDN, izin impor, sertifikasi halal, subsidi—sebagai syarat utama.
-
Koordinasi internal RI: pelaksanaan paket impor dan investasi AS di RI perlu sinkron antara kementerian agar klaim diplomatik bisa diterjemah nyata.
Target Airlangga Hartarto bidik tarif resiprokal AS 0% merupakan langkah cerdik dalam menghadapi era perang dagang. Negosiasi intensif, tawaran paket impor-impor, sampai investasi didorong untuk bayar politik diplomasi. Keberhasilan bisa jadi breakthrough bagi struktur perdagangan Indonesia–AS. Tapi negosiasi rumit menuntut keseriusan dan koordinasi riil. Kita tunggu hasil final menjelang Juli!