majalahpotretindonesia.com – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati baru‑baru ini mengungkapkan posisi titik terlemah rupiah di akhir era Jokowi selama konferensi pers APBN KiTa. Menurutnya, tekanan global — bukan fundamental ekonomi Indonesia — jadi aktor utama di balik pelemahan itu. Penasaran lebih dalam? Simak ulasan berikut!
1. Tekanan Global, Bukan Kondisi Ekonomi RI
Sri Mulyani menegaskan bahwa pelemahan rupiah di level Rp16.829 akhir Maret 2025 dan rata‑rata YTD sebesar Rp16.443 bukan karena ekonomi Indonesia rapuh.
Menurut beliau, penyebab utamanya adalah dinamika global:
-
Suku bunga The Fed masih tinggi karena inflasi AS belum turun signifikan.
- Aliran modal global mengalir ke AS sehingga Dolar AS menguat, menekan nilai tukar rupiah.
- Kebijakan proteksionisme dan tarif AS yang muncul sejak awal 2025 memicu volatilitas di pasar mata uang global.
Artinya, rupiah kena imbas akibat tekanan eksternal yang diperparah oleh kebijakan AS, bukan faktor domestik.
2. Seberapa “Lemah” Rupiah di Era Jokowi?
Data menunjukkan sejak awal kepemimpinan Presiden Jokowi (2014–Maret 2025), rupiah melemah dari kisaran Rp12.030/USD menjadi Rp16.829/USD. ini artinya terjadi depresiasi sekitar 40% dalam 11 tahun.
Di antaranya:
-
Juni 2024: mencapai titik depresiasi Rp16.470 karena capital outflow investor asing.
- Maret 2020 (awal pandemi): pernah tembus Rp16.550 s.d. Rp16.829.
Artinya, era Jokowi menghadirkan momen kritis berkali-kali, dengan tekanan besar di akhir masa jabatan karena kombinasi krisis global, pandemi, dan perang dagang.
3. Dampak ke APBN & Ekonomi Domestik
Sri Mulyani menjelaskan kenaikan depresiasi rupiah juga berpengaruh ke APBN:
-
Subsidi energi seperti BBM dan LPG naik karena harga impor menanjak.
- Imbal hasil SBN tertekan karena yield global naik, yang kemudian menaikkan biaya pinjaman pemerintah.
-
Nilai impor yang tinggi mendorong tekanan inflasi domestik — rupiah makin melambat, semua jadi siklus.
Mayoritas tekanan memang bersumber dari global, tapi efeknya lumayan signifikan ke APBN dan daya beli rakyat.
4. Kritik Pengamat: MoU Fundamental Ekonomi RI
Di sisi lain, banyak pengamat menilai pemerintah terlalu fokus pada faktor eksternal hingga kelewat menutup mata dengan masalah fundamental Taiwan.
Achmad Nur Hidayat (Narasi Institute) bilang:
“Ekonomi Indonesia sendiri mengalami utang luar negeri meningkat, defisit transaksi berjalan membesar dan neraca perdagangan ketidakseimbangan persisten… faktor fundamental tersebut lah yang menyebabkan rupiah tembus Rp16.200 bahkan Rp16.900.”
Menurutnya isu ini bukan cuma soal global, tapi juga defisit rekening berjalan, utang negara, dan struktur ekspor yang belum kuat. Bahwa rupiah sedang lemah, lebih dari sekadar efek The Fed.
5. Strategi Sri Mulyani: Siaga di Tengah Gelombang Global
Sri Mulyani punya strategi untuk meredam pelemahan:
-
Monitoring terus dinamika global—DXY, capital flow, yield US Treasury.
-
Menyiapkan APBN fleksibel, menjaga defisit tetap di bawah 3% dari PDB.
-
Mengoptimalkan penerimaan negara agar punya bantalan fiskal bila rupiah semakin melemah.
Pendekatan ini dimaksudkan agar APBN tak langsung goyah saat mata uang turun tajam.
Titik terlemah rupiah di akhir era Jokowi (Maret 2025) memang menyentuh Rp16.829/USD. Namun, menurut Sri Mulyani, hal ini lebih karena tekanan global — bukan fundamental ekonomi RI. Meski begitu, kritik menunjukkan pemerintah harus tetap fokus reformasi struktural agar Indonesia tidak rentan jika tekanan global mereda. APBN fleksibel jadi kunci mengawal ekonomi.