Gagal Paham Ide Naikkan Tarif Ojol 15%: Tak Cabut Akar Masalah

Gagal Paham Ide Naikkan Tarif Ojol 15%: Tak Cabut Akar Masalah

Gagal Paham Ide Naikkan Tarif Ojol 15%: Tak Cabut Akar Masalah

majalahpotretindonesia.com – Gembar‑gembor kenaikan tarif ojol sebesar 8–15% kembali jadi sorotan lantaran dinilai gagal menyasar akar masalah di ekosistem transportasi digital. Meski calon tambahan penghasilan membuat pengemudi senang, dampak jangka panjang ternyata kompleks dan berpotensi menambah beban pengguna dan menguntungkan aplikator.

1. Kajian Kemenhub: Zona vs Realitas Lapangan

Kementerian Perhubungan (Kemenhub) udah finalkan kajian kenaikan tarif ojol sebesar 8–15%, berdasarkan tiga zona wilayah operasi([turn0search3]):

  • Zona I (Jawa–Sumatra–Bali): kenaikan 15%

  • Zona II & III: kisaran 8% tergantung kondisi lokal

Meski skema ini terlihat sistematis, kenyataannya:

  1. Pengemudi mendapatkan kenaikan hanya Rp 8.000–15.000/hari setelah dipotong aplikator 20% dari tambahan tarif([turn0search1]).

  2. Konsumen merasakan langsung kenaikan tarif, khususnya untuk perjalanan rutin ke kantor atau stasiun.

  3. Sistem berbasis zona enggak memperhitungkan disparitas biaya hidup dan infrastruktur antar wilayah.

Artinya, rencana pemerintah memang matang secara administratif, tapi tidak cukup mempertimbangkan perbedaan riil ekonomi dan perilaku pengguna.

2. Pengemudi Dapat Seujung Lidah, Bukan Solusi Memadai

Studi Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS) menunjukkan kenaikan tarif 15% pada tarif dasar Rp 2.500/km:

  • Pendapatan kotor naik dari Rp 125.000 jadi Rp 143.750/hari (50 km)

  • Tetapi bersih setelah potongan 20% aplikator hanya menjadi Rp 115.000 – bertambah Rp 15.000 saja([turn0search1])

Dalam konteks kenaikan biaya hidup:

  1. Biaya bensin, servis motor, kuota internet, bahkan makan bisa langsung menyedot tambahan tersebut.

  2. Artinya, pengemudi hanya merasakan kenaikan semu, bukan peningkatan kesejahteraan nyata.

  3. Ditambah, keluhan terkait potongan aplikator yang dominan (hingga 50%) tak ditangani lewat kebijakan tarif semata.

Kesimpulannya, kenaikan tarif tanpa perbaikan model potongan tidak memperbaiki situasi pengemudi secara signifikan.

3. Beban Konsumen: Inflasi dan Perpindahan Moda Transportasi

Pengamat dari Republika dan detikFinance menyebut kenaikan tarif ojol justru bisa mendorong inflasi transportasi dan mengubah pola mobilitas publik([turn0search5][turn0search9]):

  • Konsumen kelas menengah (40–50% pengguna ojol) bisa jadi menahan diri dan beralih ke kendaraan pribadi.

  • Peningkatan tarif antar orang dan barang berdampak pada pelaku UMKM dan jasa online, yang otomatis meningkatkan harga jasa kirim.

  • Perpindahan ke kendaraan pribadi ujungnya bikin kemacetan bertambah dan konsumsi BBM meningkat—membebani ekonomi makro.

Masalah utama bukan sekadar tarif, tapi efek turunan yang menyebar ke seluruh ekosistem transportasi dan sosial.

4. Aplikator Cuan, Driver Jadi Penonton

Meski kenaikan tarif 15% dirumuskan untuk kepentingan driver, aplikator juga kebagian. Dari tambahan kotor Rp 18.750, potongan 20% untuk aplikator menjadi Rp 2.750 lebih banyak dari sebelumnya([turn0search1]).

Artinya:

  1. Aplikasi digital sama-sama dapat untung lebih tanpa menurunkan potongan.

  2. Driver tetap berada di posisi lemah tanpa memiliki ruang tawar nyata.

  3. Ketiadaan transparansi insentif dan potongan membuat struktur kerja tetap timpang.

Kenaikan tarif tanpa struktur baru hanya memperkuat sistem lama yang merugikan driver.

5. Voice Pengguna dan Pengemudi: Kritik Tajam

Respons di lapangan:

  • Penumpang menjerit karena kasihan dompet: “Kalau naik ojol sekarang bisa Rp 50.000 sehari, bisa bikin kantong bolong” ([turn0search0]).

  • Pengemudi unjuk rasa: tuntutan potongan maksimal 10%, transparansi insentif, bukan kenaikan tarif semata([turn0search2]).

  • Masyarakat memandang solusi kenaikan tarif sebagai tindakan reaktif, bukan reformasi: “belum cabut akar, hanya tambal sulam” ([turn0search10]).

Pain point utama sebenarnya soal kekuatan tawar driver dan model bisnis aplikator, bukan sekadar harga perjalanan.

6. Rekomendasi: Tarik Benang Akar, Bukan Impulsif

Untuk menyelesaikan akar masalah, solusi perlu lebih strategis:

  1. Batasi potongan aplikasi maksimal jadi 10%, bukan sekadar menaikkan tarif.

  2. Transparansi struktur insentif, sediakan laporan bulanan kepada driver.

  3. Subsidi langsung untuk driver berpenghasilan rendah, misalnya dari pajak layanan aplikasi.

  4. Evaluasi berkala dampak tarif, termasuk dampak inflasi dan perilaku pengguna.

  5. Diversifikasi skema tarif: harga rendah untuk rute pendek, harga normal untuk rute panjang.

Dengan begini, driver benar‑benar sejahtera, konsumen tetap bisa diakomodasi, dan aplikator punya model bisnis yang sehat.

Program naikkan tarif ojol 15% memang niatnya baik, tapi cenderung gagal paham karena tidak menyentuh akar persoalan: potongan aplikator yang tinggi dan model bisnis yang timpang. Hasilnya, driver cuma dapat titipan tambahan, konsumenn dibebani, dan aplikator tetap diuntungkan.